Hari Senin setelah reservasi pagi hari, aku ternyata mendapat nomer terakhir lagi, diminta datang pukul 7 malam di tempat praktek Andri.
Tempatnya di lingkungan perumahan yang elit dan asri, suasananya begitu nyaman untuk tempat tinggal, ternyata Andre membuka praktek di paviliun samping rumahnya yang gandeng dengan rumah utama.
Pukul 6:30 malam aku dan suami sudah sampai di tempat praktek, ada 2 pasien yang menunggu di situ, rata rata masih muda, seusia kami.
Setelah menunggu lebih dari satu jam dan tidak ada pasien lainnya lagi, akhirnya suster cantik itu memanggil kami masuk.
Di depan kami berdua Andri begitu berwibawa seperti layaknya seorang dokter.
“bagaimana Pak Hendra, apa anda mengikuti petunjuk saya untuk tidak berhubungan paling tidak hingga Kamis depan?” Tanya dokter Andri
“ya bagaimana lagi dok, kalau ingin berhasil kita ikutin anjuran dokter saja” jawab suamiku seperti pasrah, sebenarnya nggak tega juga aku melihat expresi wajahnya.
“kali ini mungkin tidak selama yang pertama, paling lama satu jam, Pak Hendra boleh tunggu di sini atau di luar” kata Andri
“saya tunggu di luar, tempatnya sejuk dan asri, boleh saya Tanya dok?” kata suamiku
“silahkan”
“kenapa suami tidak boleh menemani istri untuk konsultasi”
“banyak alasan, pertama, biar tidak terlalu banyak pasien kalau suaminya tidak setuju, sebagai upaya pembatasan pasien secara halus, kalau nggak gitu bisa tiap hari saya selesai praktek jam 12 malam. Kedua, saya tentu akan merasa canggung bila memeriksa si istri sementara sang suami melototi kerja saya. Ketiga belum saatnya, setelah periksa istri dan ternyata tidak ada masalah maka mungkin masalahnya ada di suami, baru saya akan periksa suaminya, itulah metode pengobatan saya” jawab Andri
“oke dok, aku tunggu di luar saja” kata suamiku langsung keluar meninggalkan aku berdua dengan Andri.
Read the rest of this entry ?